7/30/2021

Blue Sky Collapse

Tadinya pagi ini gue mau tidur lagi, tapi gue inget hari ini sabtu, dan ternyata gue salah print kalender soalnya sekarang jumat. Hari ini gue masih banyak pikiran. Biasa lah suka random, tapi gue nonton kdrama aja. Sekalian nemenin gue daripada makin diem makin mikir.

Terus barusan gue muter lagu Blue Sky Collapse nya Adhitia Sofyan. Nice.

Akhir-akhir ini gue galau. Nggak galauin siapa-siapa, asli deh. Lebih ke ngegalauin apa. Sewaktu lagu ini gue dengerin, gue sembari flashback ke masa lalu, masa di kala gue masih remaja belasan tahun. Dengerin lagu Adhitia Sofyan yang gue puter secara berbayar di spotify gue sendiri, karena gue suka dengerin lagu apalagi soundtrack drama atau film. Singkat cerita, lagu-lagu dia udah dua yang gue dengerin dan gue suka setel di Spotify. Lagu-lagu doi nemenin countless sleepless nights yang berlalu hanya karena gue lagi into internetan banget sampe nggak rela kalo waktu internetan gue dipake buat tidur. What did I do? Ngeblog dan blog walking. Blog walking, kata yang udah lama banget nggak gue denger. I remember scrolling through other blogs yang randomly gue temuin malem itu. Semaleman gue baca blog orang. Iya, isi blog orang lain masih seseru itu sampe bikin gue tidur pagi. Mereka se-freely itu cerita apapun di blog. Semuanya hanya kata-kata. Satu sampai dua foto mungkin disisipin di postingan biar nggak terlalu bosen. I loved reading their stories and I loved writing mine, too. Selain buka tab blogger, gue suka sekalian buka artikel tentang kesehatan mental orang lain dan how they deal with it. Iseng-iseng scrolling pagenya. Gue suka ngebaca-bacain komen-komennya karena isinya nggak ada yang ngejudge cerita mereka dll (Iyalah, tema websitenya aja menyangkut mental seseorang. Duh.). But that was my favorite, because I adore their bright and colorful yet calming stories. Satu lagi, gue dulu suka buka Friendster. Duh, iya Friendster. Website ini udah nggak ada lagi ya sekarang? Padahal seru banget. Lebih seru dari Instagram, Facebook, sama Path. Kapan lagi lo minta orang lain buat ngisi kolom Testimonial lo? Kapan lagi juga lo bisa ngedekor sendiri profile lo pake tulisan glitter? Mungkin saat itu Facebook udah ada, dulu gue ngerti cara maen Facebook tapi sekarang gue nggak ngerti. Tapi, konsep ngasih gifts lucu yang bisa keliatan di sidebar profile kita masih sulit gue pahami sampe sekarang.

Youtubers yang dulu gue selalu tontonin videonya, yang bikin gue terpingkal-pingkal dengan jokes bule recehnya mereka, udah nggak pernah upload video lagi. Instrumen-instrumen enak yang suara gitarnya bagus ya depapepe yang selalu gue dengerin. Sekarang Youtube isinya makeup tutorial plus vlog manusia dan artis yang semakin eksis di dunia maya, padahal gue kalo nonton nggak terlalu menikmati sih. Blogger juga udah sepi. Anak-anak hipster angkatan awal udah pada nggak ngeblog lagi kayaknya. Udah pada ilang entah kemana. Walaupun gue suka nggak paham, tapi gue suka aja baca tulisan mereka yang sengaja dibikin misterius ala-ala pujangga dengan gaya bahasa yang tersirat bikin penasaran itu. Sementara gue masih menulis blog seperti tahun lalu. Kayaknya gue nggak mau give up sesuatu yang mengikat gue dengan masa lalu. Sama seperti gue sulit banget untuk lupa orang-orang lama atau kenang-kenangan orang lama. Iya, sesulit itu gue untuk move on.

Semakin gue tua gue sepertinya semakin sensitif. Buktinya tiap kali gue nonton atau inget hal-hal dari jaman dulu, gue jadi mendadak melankolis kaya sekarang. Kayaknya gue nggak terlalu suka sama masa sekarang dan kenyataan kalau gue nggak bisa balik ke masa lalu bikin gue jadi sedih. Jaman dulu semua kayaknya tentram banget. Everything was meaningful. Everyone was genuine. Sekarang semuanya nggak berarti. Lagu-lagu baru udah nggak asik lagi untuk didengerin. Nggak bisa lagi nemenin gue menjalani sewaktu tempo, sehingga gue bisa inget terus sama momen tersebut setiap kali gue denger lagunya. Kebersamaan udah nggak indah lagi, karena sekarang manusianya terlalu sibuk selfie bareng biar bisa diupload di Instagram dan Status WhatsApp. Maybe it's just me, but I feel everything has changed completely. Apa mungkin karena gue semakin bertambah tua, maka hidup jadi bertambah sulit? Apa mungkin karena gue semakin dewasa, maka gue jadi makin serius sehingga gue nggak bisa menemukan momen-momen indah yang gue dapetin di masa lalu? Atau mungkin pikiran gue udah terlalu carut marut, sehingga nggak mau lagi dipenuh-penuhin sama lagu apapun?

Dunia juga sekarang dipenuhi dengan orang-orang baru. Manusia kayaknya sekarang makin banyak sampe gue nggak kenal lagi muka-mukanya. Tempat dulu berasa sempit, karena orang yang muncul dipermukaan ya dia-dia doang. Orang-orang lama pada kemana ya? Mungkin udah pada punya dunia masing-masing kali ya. Mungkin ini yang namanya regenerasi. Yang lama-lama udah pada pensiun, digantiin sama yang baru.

Tapi masalahnya yang baru kurang asik, kurang seru.

I just play Adhitia Sofyan's full album. Songs that I used to listen to one year ago. Kayaknya untuk beberapa hari ini gue akan dengerin lagu-lagu ini terus sambil mengenang masa lalu.

Still everyday I think about you
I know for a fact that's not your problem
But if you change your mind you'll find me
Hanging on to the place
Where the big blu sky collapse 

7/15/2021

Apologize?

I know. Yes, I know very well. But what I don't understand is why the innocent need to apologize? I don't want to be taught like that. If it has to be like that all the time, how can someone who is wrong can understand that it is actually her who is wrong.

It's okay if no one apologizes. I don't want to apologize, but I'll assume you apologized. Like "Sorry I'm too sensitive". Yes, I would think that way about you, because that's actually how it was when I was asked to apologize. I don't care now with which one has to give in, because whoever was wrong it seems like someone like that should feel wrong and apologize. Does sorry really mean? Yes, sorry doesn't mean you lose but you realize that you are not always right. You don't understand, do you? Yes, of course, you are always right. But my apologies are not for the guilty. I will say sorry when I was wrong. Usually I will apologize frequently whether I do or not. But not anymore for now. You need to learn and I'm learning, too. I hope we will learn together. Let's be nice from now on! I'm not your doll anymore you can want and what you set to be. I'm entitled to myself too.

Am I really that hard to be a person now? Yes, sorry life is too hard to be weak all the time. Life has become so unfriendly, that I need to learn how to respond to life in the moment.

I was very weak and quite fed up with the life I was living then, now and in the future. I don't want to add another bad life to the next. Try to understand other people, I'm tired of understanding other people all the time. Even though you don't understand me, you don't even try, you just keep trying to corner me. I will try to be a good person when I do good to myself too, I always do good to others but I treat myself badly. I would feel unfair wouldn't I? Yes, maybe I'm always feeling sad inside. She'll feel like I'm not treating her well and she might just get fed up with me and leave me. I don't want her to not try to be with me through other difficulties and sorrows. She tried to make me happy, but I poured out sadness. I feel the evil that is given by myself.

Am I too selfish now? How to say huh. If life is too hard to feel and think, then I have to be tougher right? Because life can erode me slowly if I get weaker and weaker.

7/12/2021

You've Got A Friend

Orang-orang bilang masa-masa SMA adalah masa paling indah. Gue nggak terlalu setuju sih. Masa di mana nggak ada beban hidup. Drama hanya sebatas perseturuan sepele antar teman, drama naksir-naksiran kakak kelas, berantem-berantem labil cinta monyet. Tiap hari ke sekolah bukan pingin belajar, tapi pingin ketemu orang-orangnya. Pergi ke sekolah bukan pengen nuntut ilmu, tapi pingin seneng-seneng jajan di kantin dan pergi les. Kelas 6 sampe awal kelas 8. It was the best time of my life.

Di sana gue nemuin beberapa orang terbaik yang pernah gue temuin yang sampe sekarang nggak akan gue lupa. If I heard the word "best friend", I'll definitely think of them. Dulu mungkin gue merasa pertemanan gue dengan orang-orang ini biasa aja layaknya pertemanan setiap orang dengan kawan baiknya. Setelah kuliah ini jauh dari mereka gue baru sadar kalo pertemanan dengan mereka adalah sesuatu yang patut gue apresiasi setiap detik. Gue nggak tau segimana annoying dan talking too much nya gue dulu sampai gue beranjak kuliah. Gue nggak sadar segimana nggak jelas dan lebay nya gue dulu sampai gue menginjak umur 20, ninggalin masa remaja. Apalagi kalau udah cerita-cerita tentang jaman dulu dan mengingat-ngingat tingkah laku gue dulu tuh rasanya nggak percaya aja gue bisa begitu jadi orang. Bukan perubahan pada diri gue yang ingin gue bangga-banggain di sini. Despite begitunya gue tersebut, orang-orang ini mau nerima gue. Itu yang bikin gue bersyukur kalau diinget lagi. Gue nggak pernah sekali pun denger dari mereka tercetus suatu kalimat yang memojokan gue, yang mengolok-ngolok gue saat itu, yang complain akan ke tidak-jelasan dan segala tentang gue saat itu. Bahkan sampai sekarang, terkadang mereka suka tiba-tiba nanya kabar atau ngegoda-godain gue udah bisa makeup segala padahal dulu kayak laki. I'm grateful and proud at the same time. Gue bangga pernah punya temen-temen yang ternyata itu berarti banget dan bersyukur karena gue pernah bisa ada di hidup mereka, bisa nyicipin baiknya mereka juga.

Pernah nggak sih lo berada di suatu situasi di mana lo ngerasa nyaman banget. Nggak terpikir di benak lo untuk mengubah diri lo, memilah-milah kata-kata lo, dan menutupi keburukan lo, karena lo tau mereka nggak akan mengeluh tentang sifat lo, tentang perkataan lo, tentang diri lo. That's how I feel whenever around them. Gue bisa cerita apapun, menumpahkan segala keluh kesah gue tanpa khawatir apakah gue udah terlalu banyak ngomong, terlalu rempong ngehadapin masalah, terlalu panikan. Karena gue tau mereka akan selalu mendengarkan dengan senang hati. Di deket mereka gue bisa jadi diri gue sendiri, bodo amat sama apa yang gue lakuin, karena gue tau mereka nerima gue apa adanya. Pun ada yang mereka nggak suka di diri gue, they'll tell me in a good way as a good friend and for my own good. Itu yang gue pelajari selama 2 tahun di masa remaja gue. That's a kind of friendship I know, menerima teman baik lo apa adanya, selalu suportif, saling mendukung satu sama lain, saling nasehatin satu sama lain, dan selalu ada di situasi apapun. As simple as that.

Sampai akhirnya gue lulus SMP. Gue masuk lingkungan baru, dengan muka-muka baru, ketemu sama personality baru. It hits me so hard, because some people here (those who I considered as good friends) have different understanding and different opinion on friendship. Gue nggak perlu cerita kelas 8 akhir dan kelas 9 gimana. Karena itu bukan sesuatu yang baik untuk gue inget. Because it really changed me. Di sekolah dulu gue nggak pernah discanning dari atas sampe bawah sama temen deket gue (that's not what good friends do, right?), nggak pernah diliatin gue sama orang-orang ini gimana sikap nya, nggak pernah diminta harus begini dan begitu, nggak pernah diliat secara permukaan. But these people do. Buat mereka pertemanan adalah ketika lo bisa ngobrol terus-terusan dan ikut kemanapun, once lo lagi nggak mau ngumpul, you go back to square one. Pertemanan lo renggang. So it's like quantity over quality? Buat mereka pertemanan adalah ketika lo bisa ngumpul-ngumpul sama orang ini, tapi ketika orang ini lagi di masa sulit, mereka nggak memberi moral support or even time. Buat mereka pertemanan adalah ketika orang ini bertingkah laku dan bersifat sesuai apa yang mereka mau. In other word, they don't accept you as who you are. Iya, selama berteman sama mereka gue harus selalu menutupi sifat asli gue, gue harus bertingkah menyenangkan dan mengikuti supaya nggak diomongin, gue harus berusaha keep up supaya gue terus dianggap teman, dan gue selalu complain ke diri gue, "What are you doing, Yan?!", Hanya supaya gue dianggap temen, gue rela usaha segitunya. Why did I do that?

Karena gue tau gue hampir selalu dianggap salah sama orang lain, terutama dengan cewek-cewek yang suka komplotan, cewek-cewek yang punya pasukan depan belakang kanan kiri, cewek-cewek yang suka haha-hihi ngomongin orang nggak jelas, gue bukan cewek yang suka nyindir bawa banyak orang di sekitarnya, gue bukan cewek yang punya temen karena pinter ngomong. I am not that kind of person. Melihat sifat gue mulai dari kelas 9 yang sedih mulu, yang jadi males ngomong, jadi sering pengen sendiri, yang lebih mengedepankan quality over quantity, yang lebih melihat esensi, yang selalu punya strong view dan perspective, yang kaku, yang pemikir, yang nggak tau caranya berteman, adalah hal yang sulit. Terlalu sulit, at least buat gue. Dan gue rela bingung sama diri sendiri supaya gue punya temen. Supaya diri gue yang jadi bersudut ini bisa muat ke lingkaran mereka. I struggled so much selama gue di SMA. I keep blaming myself, "Kenapa lo nggak bisa play along well in this society?. Dan satu hal lagi, gue benci sama sindiran. Tapi di masa sekolah itu hawa sindiran terlalu kuat, even for the smallest thing. Gue masih inget gimana dulu kelas 8 akhir dan kelas 9 gue selalu disindir-sindir karena masalah cowok likes over 10 times di sekolah, dan gue jadi ya kalau lo suka mah ambil gue nggak akan mikir seperti cara pandangan lo ke gue. I smell strong sense of chaos there, like really strong. Semua hal itu membuat gue kesulitan, yang gue rasain jadi makin sulit rasanya saat mereka tiba-tiba nyindir fisik gue dari atas sampe bawah entah twitter apa saut-menyaut. Tiba-tiba disamperin di kelas dan ditanya-tanya dengan nada yang sinis, padahal gue tau masalah awalnya bukan itu. Semua hal itu membuat gue ngomong kakak pingin pesantren aja. Nggak kuat, gue dateng tiap hari, gue lihat tiap hari, gue temuin tiap hari. Rasanya kayak lo melihat orang di depan lo selalu berusaha membuat lo sendiri dan nggak punya siapa-siapa, padahal lo adalah orang yang bingung dan mikir "Kenapa yang kayak gitu malah banyak temen nya?". Setidakmenyenangkan itu.

Gue masih inget gimana waktu gue ngerasa sendirian, orang-orang yang gue anggap dekat malah nggak ada. Selama dia sedih dan bingung, gue ada buat mereka. Even their ears are not there for me. They have no idea gimana stressnya gue dulu terkapar di pikiran dan perasaan sampe-sampe gue suka tiba-tiba nangis tanpa alasan. They didn't even care. Terus gimana? Gue nggak pernah ngomong ke orang kalau lagi kenapa-kenapa, gue nggak pernah cerita-cerita sama orang, gue mulai mikir bukan lo doang yang perlu di dengerin, gue pun sama. Kalo mau husnudzon mungkin mereka sibuk nggak ada waktu. Tapi mereka nggak nanggepin gue lagi karena chat-nya nggak kebaca. Yep, I'm still trying my best to think positive here, even you update story/status and you're just reply your bf's-ish chat. I know it's all about the priority, right? Gue juga masih inget banyak lagi sampe gue jago sendirian sekarang. Ok, back to the school story, because that story was in college. Ketika gue bener-bener jujur sama mereka, gue malah didepak dari lingkarannya karena gue berubah katanya. Gue masih inget betul gimana gue ngerasa dikecewainnya saat itu, dikecewain sama temen gue sendiri. Gimana marahnya dan nggak percayanya gue sama apa yang udah dilakuin mereka. Gue juga masih inget gimana setengah matinya gue mencoba untuk menahan amarah gue, tapi gue takut akan mendapat judgement yang lebih buruk lagi. Dan gue selalu inget gimana kecewanya gue sama mereka yang juga ninggalin gue, bersama dengan orang-orang yang menyudutkan gue ketika gue perlahan-lahan belajar mengerti diri gue. And I don't wanna be my old self again, who couldn't hold anger. Akhirnya gue minta maaf, minta maaf, dan minta maaf. Tiga kali gue minta maaf, tap itu semua tetep nggak bisa nge-restore friendship gue sama mereka. Mereka nggak mau temenan sama gue lagi, mereka menghindar. We're now strangers again.

Bertahun-tahun ini semua membebani otak gue yang kecil ini. Bertahun-tahun gue simpan kekecewaan gue. They don't know how hard I've tried to be a person that really who I am, but ends with I've tried to be a friend they wanna have. Bertahun-tahun gue kesel ke diri gue sendiri, kenapa gue nggak bisa punya temen yang bertahan lama? Apa gue yang kurang mengerti mereka?, dan bertahun-tahun juga gue mempertanyakan ke diri gue "Kenapa fokus gue selalu ke orang lain?".

Salah satu video kemudian mengingatkan gue sama satu cerita tentang sahabat yang hidup di jaman Rasulullah:

Di salah satu sudut Masjid Nabawi terdapat satu ruang yang kini digunakan sebagai ruang khadimat. Dahulu di tempat itulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalaam senantiasa berkumpul bermusyawarah bersama para Sahabatnya radhiallahu 'anhum. Di sana Beliau SAW memberi taushiyyah, bermudzakarah, dan ta'lim.

Suatu ketika, saat Rasulullah SAW memberikan taushiyyahnya, tiba-tiba Beliau SAW berucap, "Sebentar lagi akan datang seorang pemuda ahli surga.". Para sahabar r.hum pun saling bertatapan. Di sana ada Abu Bakar Ash Shiddiqradhiallahu 'anhu, Utsman bin Affanradhiallahu 'anhu, Umar bin Khattabradhiallahu 'anhu, dan beberapa Sahabat lainnya.

Tak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang sederhana. Pakaiannya sederhana, penampilannya sederhana, wajahnya masih basah dengan air wudhu. Di tangan kirinya menenteng sandalnya yang sederhana pula.

Di kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW berkumpul dengan para Sahabatnya, Beliau SAW pun berucap, "Sebentar lagi kalian akan melihat seorang pemuda ahli surga.". Dan pemuda sederhana itu datang lagi, dengan keadaan yang masih tetap sama, sederhana. Para Sahabat yang berkumpul pun terheran-heran, siapa pemuda sederhana itu?

Bahkan hingga ketiga kalinya Rasulullah SAW mengatakan hal yang serupa, bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang ahli surga. Seorang Sahabat, Mu'adz bin Jabbalradhiallahu 'anhu pun merasa penasaran amalan apa yang dimilikinya sampai-sampai Rasul menyebutnya pemuda ahli surga?

Maka Mu'adzradhiallahu'anhu berusaha mencari tahu. Ia berdalih sedang berselisih dengan ayahnya dan meminta izin untuk menginap beberapa malam di kediaman si pemuda tersebut. Si pemuda pun mengizinkan. Dan mulai saat itu Mu'adz mengamati setiap amalan pemuda tersebut.

Malam pertama, ketika Mu'adz bangun untuk tahajud, pemuda tersebut masih terlelap hingga datang waktu subuh. Ba'da subuh, mereka bertilawah. Diamatinya bacaan pemuda tersebut yang masih terbata-bata, dan tidak begitu fasih. Ketika masuk waktu dhuha, Mu'adz bergegas menunaikan shalat dhuha, sementara pemuda itu tidak.

Keesokkannya, Mu'adz kembali mengamati amalan pemuda tersebut. Malam tanpa tahajjud, bacaa tilawah terbata-bata dan tidak begitu fasih, serta di pagi harinya tidak shalat dhuha.

Begitu pun di hari ketiga, amalan pemuda itu masih tetap sama. Bahkan di hari itu Mu'adz shaum sunnah, sedangkan pemuda itu tidak shaum sunnah.

Mu'adz pun semakin heran dengan ucapan Rasulullah SAW. Tidak ada yang istimewa dari amalan pemuda itu, tetapi Beliau SAW menyebutnya sebagai pemuda ahli surga. HIngga Mu'adz pun langsung mengungkapkan kebenarannya pada pemuda itu, "Wahai Saudaraku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyebut-nyebut engkau sebagai pemuda ahli surga. Tetapi setelah aku amati, tidak ada amalan istimewa yang engkau amalkan. Engkau tidak tahajjud, bacaannya pun tidak begitu fasug, pagi hari pun kau lalui tanpa shalat dhuha, bahkan shaum sunnah pun tidak. Lalu amal apa yang engkau miliki sehingga Rasul SAW menyebutmu sebagai ahli surga?"

"Saudaraku, aku memang belum mampu tahajjud.
Bacaanku pun tidak fasih. Aku juga belum mampu shalat dhuha.
Dan aku pun belum mampu untuk shaum sunnah.
Tetapi ketahuilah, sudah beberapa minggu ini aku berusaha untuk menjaga tiga amalan yang baru mampu aku amalkan."

"Amalan apakah itu?"

"Pertama, aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Sekecil apapun, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Baik itu kepada ibu bapakku, istri dan anak-anakku, kerabatku, tetanggaku, dan semua orang yang hidup di sekelilingku. Aku tak ingin mereka tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatanku."

"Subhanallah. Kemudian apa?"

"Yang kedua, aku berusaha untuk tidak marah dan memaafkan. Karena yang aku tahu bahwa Rasulullah tidak suka marah dan mudah memaafkan."

"Subhanallah, lalu kemudian?"

"Dan yang terakhir, aku berusaha untuk menjaga tali silaturahhim. Menjalin hubungan baik dengan siapapun. Dan menyambungkan kembali tali silaturrahim yang terputus."

"Demi Allah...engkau benar-benar ahli surga. Ketiga amalan yang engkau sebut itulah amalan yang paling sulit aku amalkan."

Mungkin gue butuh waktu. Gue butuh waktu lama buat maafin mereka dan ikhlas tentang apapun yang udah terjadi, just because I don't have that huge of imaan in me. But what I know is, if I forgive them and just be clear about whatever happened, I do it for Allah, not for them and my life.

7/04/2021

Hari Gabut

Halo pemirsa! Udah ganti bulan aja yak sekarang. Bulan kemarin-kemarin kayaknya gue jarang banget nulis. Baru akhir bulan Juni gue nulis lagi kan. Biasanya gue seminggu sekali update blog haha. Kemarin boro-boro. Sampe-sampe banyak cerita-cerita yang lupa gue tulis disini.

Yah, hidup gue apa kabar ya beberapa hari ini? Yang pasti gue kemarin lagi males ngapa-ngapain. Padahal baru 3 hari bulan ini, tapi malesnya udah menjalar kemana-mana. Kuliah? Semester ini gue kayaknya cuma ambil magang, tapi skripsi akan diusahakan kok. Jadi gue keterima di tempat magang yang gue apply, mulainya seminggu lagi. Terus gue seneng nggak? Sebenernya seneng sih gue bisa ternyata dan nggak terlalu seneng yang seneng banget gitu. Jadi apa yang dirasain sebenernya. Life's hard, man.
Hutang kuliah gue kayak kebayar lah step-step nya. Walaupun sebenernya kalau mau ngeliat orang lain yang ada di sekitar gue, ketinggalan kan yak. Tapi gatau kenapa gue nggak terlalu peduli, maksudnya gue nggak kesenggol ngeliat orang lain lulus terus gue belum dll. Gue pernah nonton video salah satu youtuber canada, dia bilang sebenernya achievement setiap orang itu beda dan gaada yang nentuin achievement itu harus kapan. Akhirnya gue mikir tujuan orang tua atau society tentang kuliah itu nggak jauh dari setelah lulus dapet kerja. Walaupun kadang orang tua bilangnya lulus nya yang cepet, gapapa nanti mau kerja apa mau diem dirumah doang. Ya kalimat yang disampein bagus sih kayak ngasih kebebasan mau ngapain, tapi biasanya orang tua punya ekspetasi ke anaknya *mungkin nggak semua* lulus kuliah terus kerja terus nikah terus punya anak dan seterusnya. Itu tuh kayak garis hidup yang wajib dan arahan hidup setiap orang tuh rasanya kayak gitu. Iya sodara-sodara, kayak begitu terus siklus yang berlaku. Good.


Emangnya lu nggak mau nikah, Yan? :') Iya gue mau, cuma pandangan gue soal nikah beda sama lu. Emang tujuan lu nikah karena apa? Ya kan gue mau punya anak. Sebelum nikah juga bisa kalo lu mau punya anak doang mah. Oke gue undur diri, karena topik ini sensitif sekali. Jujur gue pernah ngomong gitu waktu ada yang bilang mau nikah mau cepet-cepet punya anak. Bingung gue anak masih dijadiin tujuan untuk menikah.

Hari ini rencananya gue mau ngerjain sesuatu. Kalo di kasus gue, kalo nggak ngapa-ngapain itu malemnya malah begadang, kalo ngapa-ngapain gue bakal tidurnya cepet. Gue cuma mau bilang, semoga hal yang kalian suka masih bisa kalian lakuin sekarang-sekarang. Jangan ngeliatin dan mikirin orang lain udah nyampe mana. Kalo mikirin orang lain rasanya mau manjat pohon depan rumah. Pusing.

Oke deh kalo gitu segini aja update-annya. Semoga cukup yak *kaya ada yang baca ajee*. Gue mau lanjut ngapain ya, di depan mata ada gelas bekas minum redoxon mau gue cuci. Baiklah gue undur diri dulu, cao cao!