7/12/2021

You've Got A Friend

Orang-orang bilang masa-masa SMA adalah masa paling indah. Gue nggak terlalu setuju sih. Masa di mana nggak ada beban hidup. Drama hanya sebatas perseturuan sepele antar teman, drama naksir-naksiran kakak kelas, berantem-berantem labil cinta monyet. Tiap hari ke sekolah bukan pingin belajar, tapi pingin ketemu orang-orangnya. Pergi ke sekolah bukan pengen nuntut ilmu, tapi pingin seneng-seneng jajan di kantin dan pergi les. Kelas 6 sampe awal kelas 8. It was the best time of my life.

Di sana gue nemuin beberapa orang terbaik yang pernah gue temuin yang sampe sekarang nggak akan gue lupa. If I heard the word "best friend", I'll definitely think of them. Dulu mungkin gue merasa pertemanan gue dengan orang-orang ini biasa aja layaknya pertemanan setiap orang dengan kawan baiknya. Setelah kuliah ini jauh dari mereka gue baru sadar kalo pertemanan dengan mereka adalah sesuatu yang patut gue apresiasi setiap detik. Gue nggak tau segimana annoying dan talking too much nya gue dulu sampai gue beranjak kuliah. Gue nggak sadar segimana nggak jelas dan lebay nya gue dulu sampai gue menginjak umur 20, ninggalin masa remaja. Apalagi kalau udah cerita-cerita tentang jaman dulu dan mengingat-ngingat tingkah laku gue dulu tuh rasanya nggak percaya aja gue bisa begitu jadi orang. Bukan perubahan pada diri gue yang ingin gue bangga-banggain di sini. Despite begitunya gue tersebut, orang-orang ini mau nerima gue. Itu yang bikin gue bersyukur kalau diinget lagi. Gue nggak pernah sekali pun denger dari mereka tercetus suatu kalimat yang memojokan gue, yang mengolok-ngolok gue saat itu, yang complain akan ke tidak-jelasan dan segala tentang gue saat itu. Bahkan sampai sekarang, terkadang mereka suka tiba-tiba nanya kabar atau ngegoda-godain gue udah bisa makeup segala padahal dulu kayak laki. I'm grateful and proud at the same time. Gue bangga pernah punya temen-temen yang ternyata itu berarti banget dan bersyukur karena gue pernah bisa ada di hidup mereka, bisa nyicipin baiknya mereka juga.

Pernah nggak sih lo berada di suatu situasi di mana lo ngerasa nyaman banget. Nggak terpikir di benak lo untuk mengubah diri lo, memilah-milah kata-kata lo, dan menutupi keburukan lo, karena lo tau mereka nggak akan mengeluh tentang sifat lo, tentang perkataan lo, tentang diri lo. That's how I feel whenever around them. Gue bisa cerita apapun, menumpahkan segala keluh kesah gue tanpa khawatir apakah gue udah terlalu banyak ngomong, terlalu rempong ngehadapin masalah, terlalu panikan. Karena gue tau mereka akan selalu mendengarkan dengan senang hati. Di deket mereka gue bisa jadi diri gue sendiri, bodo amat sama apa yang gue lakuin, karena gue tau mereka nerima gue apa adanya. Pun ada yang mereka nggak suka di diri gue, they'll tell me in a good way as a good friend and for my own good. Itu yang gue pelajari selama 2 tahun di masa remaja gue. That's a kind of friendship I know, menerima teman baik lo apa adanya, selalu suportif, saling mendukung satu sama lain, saling nasehatin satu sama lain, dan selalu ada di situasi apapun. As simple as that.

Sampai akhirnya gue lulus SMP. Gue masuk lingkungan baru, dengan muka-muka baru, ketemu sama personality baru. It hits me so hard, because some people here (those who I considered as good friends) have different understanding and different opinion on friendship. Gue nggak perlu cerita kelas 8 akhir dan kelas 9 gimana. Karena itu bukan sesuatu yang baik untuk gue inget. Because it really changed me. Di sekolah dulu gue nggak pernah discanning dari atas sampe bawah sama temen deket gue (that's not what good friends do, right?), nggak pernah diliatin gue sama orang-orang ini gimana sikap nya, nggak pernah diminta harus begini dan begitu, nggak pernah diliat secara permukaan. But these people do. Buat mereka pertemanan adalah ketika lo bisa ngobrol terus-terusan dan ikut kemanapun, once lo lagi nggak mau ngumpul, you go back to square one. Pertemanan lo renggang. So it's like quantity over quality? Buat mereka pertemanan adalah ketika lo bisa ngumpul-ngumpul sama orang ini, tapi ketika orang ini lagi di masa sulit, mereka nggak memberi moral support or even time. Buat mereka pertemanan adalah ketika orang ini bertingkah laku dan bersifat sesuai apa yang mereka mau. In other word, they don't accept you as who you are. Iya, selama berteman sama mereka gue harus selalu menutupi sifat asli gue, gue harus bertingkah menyenangkan dan mengikuti supaya nggak diomongin, gue harus berusaha keep up supaya gue terus dianggap teman, dan gue selalu complain ke diri gue, "What are you doing, Yan?!", Hanya supaya gue dianggap temen, gue rela usaha segitunya. Why did I do that?

Karena gue tau gue hampir selalu dianggap salah sama orang lain, terutama dengan cewek-cewek yang suka komplotan, cewek-cewek yang punya pasukan depan belakang kanan kiri, cewek-cewek yang suka haha-hihi ngomongin orang nggak jelas, gue bukan cewek yang suka nyindir bawa banyak orang di sekitarnya, gue bukan cewek yang punya temen karena pinter ngomong. I am not that kind of person. Melihat sifat gue mulai dari kelas 9 yang sedih mulu, yang jadi males ngomong, jadi sering pengen sendiri, yang lebih mengedepankan quality over quantity, yang lebih melihat esensi, yang selalu punya strong view dan perspective, yang kaku, yang pemikir, yang nggak tau caranya berteman, adalah hal yang sulit. Terlalu sulit, at least buat gue. Dan gue rela bingung sama diri sendiri supaya gue punya temen. Supaya diri gue yang jadi bersudut ini bisa muat ke lingkaran mereka. I struggled so much selama gue di SMA. I keep blaming myself, "Kenapa lo nggak bisa play along well in this society?. Dan satu hal lagi, gue benci sama sindiran. Tapi di masa sekolah itu hawa sindiran terlalu kuat, even for the smallest thing. Gue masih inget gimana dulu kelas 8 akhir dan kelas 9 gue selalu disindir-sindir karena masalah cowok likes over 10 times di sekolah, dan gue jadi ya kalau lo suka mah ambil gue nggak akan mikir seperti cara pandangan lo ke gue. I smell strong sense of chaos there, like really strong. Semua hal itu membuat gue kesulitan, yang gue rasain jadi makin sulit rasanya saat mereka tiba-tiba nyindir fisik gue dari atas sampe bawah entah twitter apa saut-menyaut. Tiba-tiba disamperin di kelas dan ditanya-tanya dengan nada yang sinis, padahal gue tau masalah awalnya bukan itu. Semua hal itu membuat gue ngomong kakak pingin pesantren aja. Nggak kuat, gue dateng tiap hari, gue lihat tiap hari, gue temuin tiap hari. Rasanya kayak lo melihat orang di depan lo selalu berusaha membuat lo sendiri dan nggak punya siapa-siapa, padahal lo adalah orang yang bingung dan mikir "Kenapa yang kayak gitu malah banyak temen nya?". Setidakmenyenangkan itu.

Gue masih inget gimana waktu gue ngerasa sendirian, orang-orang yang gue anggap dekat malah nggak ada. Selama dia sedih dan bingung, gue ada buat mereka. Even their ears are not there for me. They have no idea gimana stressnya gue dulu terkapar di pikiran dan perasaan sampe-sampe gue suka tiba-tiba nangis tanpa alasan. They didn't even care. Terus gimana? Gue nggak pernah ngomong ke orang kalau lagi kenapa-kenapa, gue nggak pernah cerita-cerita sama orang, gue mulai mikir bukan lo doang yang perlu di dengerin, gue pun sama. Kalo mau husnudzon mungkin mereka sibuk nggak ada waktu. Tapi mereka nggak nanggepin gue lagi karena chat-nya nggak kebaca. Yep, I'm still trying my best to think positive here, even you update story/status and you're just reply your bf's-ish chat. I know it's all about the priority, right? Gue juga masih inget banyak lagi sampe gue jago sendirian sekarang. Ok, back to the school story, because that story was in college. Ketika gue bener-bener jujur sama mereka, gue malah didepak dari lingkarannya karena gue berubah katanya. Gue masih inget betul gimana gue ngerasa dikecewainnya saat itu, dikecewain sama temen gue sendiri. Gimana marahnya dan nggak percayanya gue sama apa yang udah dilakuin mereka. Gue juga masih inget gimana setengah matinya gue mencoba untuk menahan amarah gue, tapi gue takut akan mendapat judgement yang lebih buruk lagi. Dan gue selalu inget gimana kecewanya gue sama mereka yang juga ninggalin gue, bersama dengan orang-orang yang menyudutkan gue ketika gue perlahan-lahan belajar mengerti diri gue. And I don't wanna be my old self again, who couldn't hold anger. Akhirnya gue minta maaf, minta maaf, dan minta maaf. Tiga kali gue minta maaf, tap itu semua tetep nggak bisa nge-restore friendship gue sama mereka. Mereka nggak mau temenan sama gue lagi, mereka menghindar. We're now strangers again.

Bertahun-tahun ini semua membebani otak gue yang kecil ini. Bertahun-tahun gue simpan kekecewaan gue. They don't know how hard I've tried to be a person that really who I am, but ends with I've tried to be a friend they wanna have. Bertahun-tahun gue kesel ke diri gue sendiri, kenapa gue nggak bisa punya temen yang bertahan lama? Apa gue yang kurang mengerti mereka?, dan bertahun-tahun juga gue mempertanyakan ke diri gue "Kenapa fokus gue selalu ke orang lain?".

Salah satu video kemudian mengingatkan gue sama satu cerita tentang sahabat yang hidup di jaman Rasulullah:

Di salah satu sudut Masjid Nabawi terdapat satu ruang yang kini digunakan sebagai ruang khadimat. Dahulu di tempat itulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalaam senantiasa berkumpul bermusyawarah bersama para Sahabatnya radhiallahu 'anhum. Di sana Beliau SAW memberi taushiyyah, bermudzakarah, dan ta'lim.

Suatu ketika, saat Rasulullah SAW memberikan taushiyyahnya, tiba-tiba Beliau SAW berucap, "Sebentar lagi akan datang seorang pemuda ahli surga.". Para sahabar r.hum pun saling bertatapan. Di sana ada Abu Bakar Ash Shiddiqradhiallahu 'anhu, Utsman bin Affanradhiallahu 'anhu, Umar bin Khattabradhiallahu 'anhu, dan beberapa Sahabat lainnya.

Tak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang sederhana. Pakaiannya sederhana, penampilannya sederhana, wajahnya masih basah dengan air wudhu. Di tangan kirinya menenteng sandalnya yang sederhana pula.

Di kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW berkumpul dengan para Sahabatnya, Beliau SAW pun berucap, "Sebentar lagi kalian akan melihat seorang pemuda ahli surga.". Dan pemuda sederhana itu datang lagi, dengan keadaan yang masih tetap sama, sederhana. Para Sahabat yang berkumpul pun terheran-heran, siapa pemuda sederhana itu?

Bahkan hingga ketiga kalinya Rasulullah SAW mengatakan hal yang serupa, bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang ahli surga. Seorang Sahabat, Mu'adz bin Jabbalradhiallahu 'anhu pun merasa penasaran amalan apa yang dimilikinya sampai-sampai Rasul menyebutnya pemuda ahli surga?

Maka Mu'adzradhiallahu'anhu berusaha mencari tahu. Ia berdalih sedang berselisih dengan ayahnya dan meminta izin untuk menginap beberapa malam di kediaman si pemuda tersebut. Si pemuda pun mengizinkan. Dan mulai saat itu Mu'adz mengamati setiap amalan pemuda tersebut.

Malam pertama, ketika Mu'adz bangun untuk tahajud, pemuda tersebut masih terlelap hingga datang waktu subuh. Ba'da subuh, mereka bertilawah. Diamatinya bacaan pemuda tersebut yang masih terbata-bata, dan tidak begitu fasih. Ketika masuk waktu dhuha, Mu'adz bergegas menunaikan shalat dhuha, sementara pemuda itu tidak.

Keesokkannya, Mu'adz kembali mengamati amalan pemuda tersebut. Malam tanpa tahajjud, bacaa tilawah terbata-bata dan tidak begitu fasih, serta di pagi harinya tidak shalat dhuha.

Begitu pun di hari ketiga, amalan pemuda itu masih tetap sama. Bahkan di hari itu Mu'adz shaum sunnah, sedangkan pemuda itu tidak shaum sunnah.

Mu'adz pun semakin heran dengan ucapan Rasulullah SAW. Tidak ada yang istimewa dari amalan pemuda itu, tetapi Beliau SAW menyebutnya sebagai pemuda ahli surga. HIngga Mu'adz pun langsung mengungkapkan kebenarannya pada pemuda itu, "Wahai Saudaraku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyebut-nyebut engkau sebagai pemuda ahli surga. Tetapi setelah aku amati, tidak ada amalan istimewa yang engkau amalkan. Engkau tidak tahajjud, bacaannya pun tidak begitu fasug, pagi hari pun kau lalui tanpa shalat dhuha, bahkan shaum sunnah pun tidak. Lalu amal apa yang engkau miliki sehingga Rasul SAW menyebutmu sebagai ahli surga?"

"Saudaraku, aku memang belum mampu tahajjud.
Bacaanku pun tidak fasih. Aku juga belum mampu shalat dhuha.
Dan aku pun belum mampu untuk shaum sunnah.
Tetapi ketahuilah, sudah beberapa minggu ini aku berusaha untuk menjaga tiga amalan yang baru mampu aku amalkan."

"Amalan apakah itu?"

"Pertama, aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Sekecil apapun, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Baik itu kepada ibu bapakku, istri dan anak-anakku, kerabatku, tetanggaku, dan semua orang yang hidup di sekelilingku. Aku tak ingin mereka tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatanku."

"Subhanallah. Kemudian apa?"

"Yang kedua, aku berusaha untuk tidak marah dan memaafkan. Karena yang aku tahu bahwa Rasulullah tidak suka marah dan mudah memaafkan."

"Subhanallah, lalu kemudian?"

"Dan yang terakhir, aku berusaha untuk menjaga tali silaturahhim. Menjalin hubungan baik dengan siapapun. Dan menyambungkan kembali tali silaturrahim yang terputus."

"Demi Allah...engkau benar-benar ahli surga. Ketiga amalan yang engkau sebut itulah amalan yang paling sulit aku amalkan."

Mungkin gue butuh waktu. Gue butuh waktu lama buat maafin mereka dan ikhlas tentang apapun yang udah terjadi, just because I don't have that huge of imaan in me. But what I know is, if I forgive them and just be clear about whatever happened, I do it for Allah, not for them and my life.

0 Comments:

Posting Komentar