7/12/2021

You've Got A Friend

Orang-orang bilang masa-masa SMA adalah masa paling indah. Gue nggak terlalu setuju sih. Masa di mana nggak ada beban hidup. Drama hanya sebatas perseturuan sepele antar teman, drama naksir-naksiran kakak kelas, berantem-berantem labil cinta monyet. Tiap hari ke sekolah bukan pingin belajar, tapi pingin ketemu orang-orangnya. Pergi ke sekolah bukan pengen nuntut ilmu, tapi pingin seneng-seneng jajan di kantin dan pergi les. Kelas 6 sampe awal kelas 8. It was the best time of my life.

Di sana gue nemuin beberapa orang terbaik yang pernah gue temuin yang sampe sekarang nggak akan gue lupa. If I heard the word "best friend", I'll definitely think of them. Dulu mungkin gue merasa pertemanan gue dengan orang-orang ini biasa aja layaknya pertemanan setiap orang dengan kawan baiknya. Setelah kuliah ini jauh dari mereka gue baru sadar kalo pertemanan dengan mereka adalah sesuatu yang patut gue apresiasi setiap detik. Gue nggak tau segimana annoying dan talking too much nya gue dulu sampai gue beranjak kuliah. Gue nggak sadar segimana nggak jelas dan lebay nya gue dulu sampai gue menginjak umur 20, ninggalin masa remaja. Apalagi kalau udah cerita-cerita tentang jaman dulu dan mengingat-ngingat tingkah laku gue dulu tuh rasanya nggak percaya aja gue bisa begitu jadi orang. Bukan perubahan pada diri gue yang ingin gue bangga-banggain di sini. Despite begitunya gue tersebut, orang-orang ini mau nerima gue. Itu yang bikin gue bersyukur kalau diinget lagi. Gue nggak pernah sekali pun denger dari mereka tercetus suatu kalimat yang memojokan gue, yang mengolok-ngolok gue saat itu, yang complain akan ke tidak-jelasan dan segala tentang gue saat itu. Bahkan sampai sekarang, terkadang mereka suka tiba-tiba nanya kabar atau ngegoda-godain gue udah bisa makeup segala padahal dulu kayak laki. I'm grateful and proud at the same time. Gue bangga pernah punya temen-temen yang ternyata itu berarti banget dan bersyukur karena gue pernah bisa ada di hidup mereka, bisa nyicipin baiknya mereka juga.

Pernah nggak sih lo berada di suatu situasi di mana lo ngerasa nyaman banget. Nggak terpikir di benak lo untuk mengubah diri lo, memilah-milah kata-kata lo, dan menutupi keburukan lo, karena lo tau mereka nggak akan mengeluh tentang sifat lo, tentang perkataan lo, tentang diri lo. That's how I feel whenever around them. Gue bisa cerita apapun, menumpahkan segala keluh kesah gue tanpa khawatir apakah gue udah terlalu banyak ngomong, terlalu rempong ngehadapin masalah, terlalu panikan. Karena gue tau mereka akan selalu mendengarkan dengan senang hati. Di deket mereka gue bisa jadi diri gue sendiri, bodo amat sama apa yang gue lakuin, karena gue tau mereka nerima gue apa adanya. Pun ada yang mereka nggak suka di diri gue, they'll tell me in a good way as a good friend and for my own good. Itu yang gue pelajari selama 2 tahun di masa remaja gue. That's a kind of friendship I know, menerima teman baik lo apa adanya, selalu suportif, saling mendukung satu sama lain, saling nasehatin satu sama lain, dan selalu ada di situasi apapun. As simple as that.

Sampai akhirnya gue lulus SMP. Gue masuk lingkungan baru, dengan muka-muka baru, ketemu sama personality baru. It hits me so hard, because some people here (those who I considered as good friends) have different understanding and different opinion on friendship. Gue nggak perlu cerita kelas 8 akhir dan kelas 9 gimana. Karena itu bukan sesuatu yang baik untuk gue inget. Because it really changed me. Di sekolah dulu gue nggak pernah discanning dari atas sampe bawah sama temen deket gue (that's not what good friends do, right?), nggak pernah diliatin gue sama orang-orang ini gimana sikap nya, nggak pernah diminta harus begini dan begitu, nggak pernah diliat secara permukaan. But these people do. Buat mereka pertemanan adalah ketika lo bisa ngobrol terus-terusan dan ikut kemanapun, once lo lagi nggak mau ngumpul, you go back to square one. Pertemanan lo renggang. So it's like quantity over quality? Buat mereka pertemanan adalah ketika lo bisa ngumpul-ngumpul sama orang ini, tapi ketika orang ini lagi di masa sulit, mereka nggak memberi moral support or even time. Buat mereka pertemanan adalah ketika orang ini bertingkah laku dan bersifat sesuai apa yang mereka mau. In other word, they don't accept you as who you are. Iya, selama berteman sama mereka gue harus selalu menutupi sifat asli gue, gue harus bertingkah menyenangkan dan mengikuti supaya nggak diomongin, gue harus berusaha keep up supaya gue terus dianggap teman, dan gue selalu complain ke diri gue, "What are you doing, Yan?!", Hanya supaya gue dianggap temen, gue rela usaha segitunya. Why did I do that?

Karena gue tau gue hampir selalu dianggap salah sama orang lain, terutama dengan cewek-cewek yang suka komplotan, cewek-cewek yang punya pasukan depan belakang kanan kiri, cewek-cewek yang suka haha-hihi ngomongin orang nggak jelas, gue bukan cewek yang suka nyindir bawa banyak orang di sekitarnya, gue bukan cewek yang punya temen karena pinter ngomong. I am not that kind of person. Melihat sifat gue mulai dari kelas 9 yang sedih mulu, yang jadi males ngomong, jadi sering pengen sendiri, yang lebih mengedepankan quality over quantity, yang lebih melihat esensi, yang selalu punya strong view dan perspective, yang kaku, yang pemikir, yang nggak tau caranya berteman, adalah hal yang sulit. Terlalu sulit, at least buat gue. Dan gue rela bingung sama diri sendiri supaya gue punya temen. Supaya diri gue yang jadi bersudut ini bisa muat ke lingkaran mereka. I struggled so much selama gue di SMA. I keep blaming myself, "Kenapa lo nggak bisa play along well in this society?. Dan satu hal lagi, gue benci sama sindiran. Tapi di masa sekolah itu hawa sindiran terlalu kuat, even for the smallest thing. Gue masih inget gimana dulu kelas 8 akhir dan kelas 9 gue selalu disindir-sindir karena masalah cowok likes over 10 times di sekolah, dan gue jadi ya kalau lo suka mah ambil gue nggak akan mikir seperti cara pandangan lo ke gue. I smell strong sense of chaos there, like really strong. Semua hal itu membuat gue kesulitan, yang gue rasain jadi makin sulit rasanya saat mereka tiba-tiba nyindir fisik gue dari atas sampe bawah entah twitter apa saut-menyaut. Tiba-tiba disamperin di kelas dan ditanya-tanya dengan nada yang sinis, padahal gue tau masalah awalnya bukan itu. Semua hal itu membuat gue ngomong kakak pingin pesantren aja. Nggak kuat, gue dateng tiap hari, gue lihat tiap hari, gue temuin tiap hari. Rasanya kayak lo melihat orang di depan lo selalu berusaha membuat lo sendiri dan nggak punya siapa-siapa, padahal lo adalah orang yang bingung dan mikir "Kenapa yang kayak gitu malah banyak temen nya?". Setidakmenyenangkan itu.

Gue masih inget gimana waktu gue ngerasa sendirian, orang-orang yang gue anggap dekat malah nggak ada. Selama dia sedih dan bingung, gue ada buat mereka. Even their ears are not there for me. They have no idea gimana stressnya gue dulu terkapar di pikiran dan perasaan sampe-sampe gue suka tiba-tiba nangis tanpa alasan. They didn't even care. Terus gimana? Gue nggak pernah ngomong ke orang kalau lagi kenapa-kenapa, gue nggak pernah cerita-cerita sama orang, gue mulai mikir bukan lo doang yang perlu di dengerin, gue pun sama. Kalo mau husnudzon mungkin mereka sibuk nggak ada waktu. Tapi mereka nggak nanggepin gue lagi karena chat-nya nggak kebaca. Yep, I'm still trying my best to think positive here, even you update story/status and you're just reply your bf's-ish chat. I know it's all about the priority, right? Gue juga masih inget banyak lagi sampe gue jago sendirian sekarang. Ok, back to the school story, because that story was in college. Ketika gue bener-bener jujur sama mereka, gue malah didepak dari lingkarannya karena gue berubah katanya. Gue masih inget betul gimana gue ngerasa dikecewainnya saat itu, dikecewain sama temen gue sendiri. Gimana marahnya dan nggak percayanya gue sama apa yang udah dilakuin mereka. Gue juga masih inget gimana setengah matinya gue mencoba untuk menahan amarah gue, tapi gue takut akan mendapat judgement yang lebih buruk lagi. Dan gue selalu inget gimana kecewanya gue sama mereka yang juga ninggalin gue, bersama dengan orang-orang yang menyudutkan gue ketika gue perlahan-lahan belajar mengerti diri gue. And I don't wanna be my old self again, who couldn't hold anger. Akhirnya gue minta maaf, minta maaf, dan minta maaf. Tiga kali gue minta maaf, tap itu semua tetep nggak bisa nge-restore friendship gue sama mereka. Mereka nggak mau temenan sama gue lagi, mereka menghindar. We're now strangers again.

Bertahun-tahun ini semua membebani otak gue yang kecil ini. Bertahun-tahun gue simpan kekecewaan gue. They don't know how hard I've tried to be a person that really who I am, but ends with I've tried to be a friend they wanna have. Bertahun-tahun gue kesel ke diri gue sendiri, kenapa gue nggak bisa punya temen yang bertahan lama? Apa gue yang kurang mengerti mereka?, dan bertahun-tahun juga gue mempertanyakan ke diri gue "Kenapa fokus gue selalu ke orang lain?".

Salah satu video kemudian mengingatkan gue sama satu cerita tentang sahabat yang hidup di jaman Rasulullah:

Di salah satu sudut Masjid Nabawi terdapat satu ruang yang kini digunakan sebagai ruang khadimat. Dahulu di tempat itulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalaam senantiasa berkumpul bermusyawarah bersama para Sahabatnya radhiallahu 'anhum. Di sana Beliau SAW memberi taushiyyah, bermudzakarah, dan ta'lim.

Suatu ketika, saat Rasulullah SAW memberikan taushiyyahnya, tiba-tiba Beliau SAW berucap, "Sebentar lagi akan datang seorang pemuda ahli surga.". Para sahabar r.hum pun saling bertatapan. Di sana ada Abu Bakar Ash Shiddiqradhiallahu 'anhu, Utsman bin Affanradhiallahu 'anhu, Umar bin Khattabradhiallahu 'anhu, dan beberapa Sahabat lainnya.

Tak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang sederhana. Pakaiannya sederhana, penampilannya sederhana, wajahnya masih basah dengan air wudhu. Di tangan kirinya menenteng sandalnya yang sederhana pula.

Di kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW berkumpul dengan para Sahabatnya, Beliau SAW pun berucap, "Sebentar lagi kalian akan melihat seorang pemuda ahli surga.". Dan pemuda sederhana itu datang lagi, dengan keadaan yang masih tetap sama, sederhana. Para Sahabat yang berkumpul pun terheran-heran, siapa pemuda sederhana itu?

Bahkan hingga ketiga kalinya Rasulullah SAW mengatakan hal yang serupa, bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang ahli surga. Seorang Sahabat, Mu'adz bin Jabbalradhiallahu 'anhu pun merasa penasaran amalan apa yang dimilikinya sampai-sampai Rasul menyebutnya pemuda ahli surga?

Maka Mu'adzradhiallahu'anhu berusaha mencari tahu. Ia berdalih sedang berselisih dengan ayahnya dan meminta izin untuk menginap beberapa malam di kediaman si pemuda tersebut. Si pemuda pun mengizinkan. Dan mulai saat itu Mu'adz mengamati setiap amalan pemuda tersebut.

Malam pertama, ketika Mu'adz bangun untuk tahajud, pemuda tersebut masih terlelap hingga datang waktu subuh. Ba'da subuh, mereka bertilawah. Diamatinya bacaan pemuda tersebut yang masih terbata-bata, dan tidak begitu fasih. Ketika masuk waktu dhuha, Mu'adz bergegas menunaikan shalat dhuha, sementara pemuda itu tidak.

Keesokkannya, Mu'adz kembali mengamati amalan pemuda tersebut. Malam tanpa tahajjud, bacaa tilawah terbata-bata dan tidak begitu fasih, serta di pagi harinya tidak shalat dhuha.

Begitu pun di hari ketiga, amalan pemuda itu masih tetap sama. Bahkan di hari itu Mu'adz shaum sunnah, sedangkan pemuda itu tidak shaum sunnah.

Mu'adz pun semakin heran dengan ucapan Rasulullah SAW. Tidak ada yang istimewa dari amalan pemuda itu, tetapi Beliau SAW menyebutnya sebagai pemuda ahli surga. HIngga Mu'adz pun langsung mengungkapkan kebenarannya pada pemuda itu, "Wahai Saudaraku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyebut-nyebut engkau sebagai pemuda ahli surga. Tetapi setelah aku amati, tidak ada amalan istimewa yang engkau amalkan. Engkau tidak tahajjud, bacaannya pun tidak begitu fasug, pagi hari pun kau lalui tanpa shalat dhuha, bahkan shaum sunnah pun tidak. Lalu amal apa yang engkau miliki sehingga Rasul SAW menyebutmu sebagai ahli surga?"

"Saudaraku, aku memang belum mampu tahajjud.
Bacaanku pun tidak fasih. Aku juga belum mampu shalat dhuha.
Dan aku pun belum mampu untuk shaum sunnah.
Tetapi ketahuilah, sudah beberapa minggu ini aku berusaha untuk menjaga tiga amalan yang baru mampu aku amalkan."

"Amalan apakah itu?"

"Pertama, aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Sekecil apapun, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Baik itu kepada ibu bapakku, istri dan anak-anakku, kerabatku, tetanggaku, dan semua orang yang hidup di sekelilingku. Aku tak ingin mereka tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatanku."

"Subhanallah. Kemudian apa?"

"Yang kedua, aku berusaha untuk tidak marah dan memaafkan. Karena yang aku tahu bahwa Rasulullah tidak suka marah dan mudah memaafkan."

"Subhanallah, lalu kemudian?"

"Dan yang terakhir, aku berusaha untuk menjaga tali silaturahhim. Menjalin hubungan baik dengan siapapun. Dan menyambungkan kembali tali silaturrahim yang terputus."

"Demi Allah...engkau benar-benar ahli surga. Ketiga amalan yang engkau sebut itulah amalan yang paling sulit aku amalkan."

Mungkin gue butuh waktu. Gue butuh waktu lama buat maafin mereka dan ikhlas tentang apapun yang udah terjadi, just because I don't have that huge of imaan in me. But what I know is, if I forgive them and just be clear about whatever happened, I do it for Allah, not for them and my life.

7/04/2021

Hari Gabut

Halo pemirsa! Udah ganti bulan aja yak sekarang. Bulan kemarin-kemarin kayaknya gue jarang banget nulis. Baru akhir bulan Juni gue nulis lagi kan. Biasanya gue seminggu sekali update blog haha. Kemarin boro-boro. Sampe-sampe banyak cerita-cerita yang lupa gue tulis disini.

Yah, hidup gue apa kabar ya beberapa hari ini? Yang pasti gue kemarin lagi males ngapa-ngapain. Padahal baru 3 hari bulan ini, tapi malesnya udah menjalar kemana-mana. Kuliah? Semester ini gue kayaknya cuma ambil magang, tapi skripsi akan diusahakan kok. Jadi gue keterima di tempat magang yang gue apply, mulainya seminggu lagi. Terus gue seneng nggak? Sebenernya seneng sih gue bisa ternyata dan nggak terlalu seneng yang seneng banget gitu. Jadi apa yang dirasain sebenernya. Life's hard, man.
Hutang kuliah gue kayak kebayar lah step-step nya. Walaupun sebenernya kalau mau ngeliat orang lain yang ada di sekitar gue, ketinggalan kan yak. Tapi gatau kenapa gue nggak terlalu peduli, maksudnya gue nggak kesenggol ngeliat orang lain lulus terus gue belum dll. Gue pernah nonton video salah satu youtuber canada, dia bilang sebenernya achievement setiap orang itu beda dan gaada yang nentuin achievement itu harus kapan. Akhirnya gue mikir tujuan orang tua atau society tentang kuliah itu nggak jauh dari setelah lulus dapet kerja. Walaupun kadang orang tua bilangnya lulus nya yang cepet, gapapa nanti mau kerja apa mau diem dirumah doang. Ya kalimat yang disampein bagus sih kayak ngasih kebebasan mau ngapain, tapi biasanya orang tua punya ekspetasi ke anaknya *mungkin nggak semua* lulus kuliah terus kerja terus nikah terus punya anak dan seterusnya. Itu tuh kayak garis hidup yang wajib dan arahan hidup setiap orang tuh rasanya kayak gitu. Iya sodara-sodara, kayak begitu terus siklus yang berlaku. Good.


Emangnya lu nggak mau nikah, Yan? :') Iya gue mau, cuma pandangan gue soal nikah beda sama lu. Emang tujuan lu nikah karena apa? Ya kan gue mau punya anak. Sebelum nikah juga bisa kalo lu mau punya anak doang mah. Oke gue undur diri, karena topik ini sensitif sekali. Jujur gue pernah ngomong gitu waktu ada yang bilang mau nikah mau cepet-cepet punya anak. Bingung gue anak masih dijadiin tujuan untuk menikah.

Hari ini rencananya gue mau ngerjain sesuatu. Kalo di kasus gue, kalo nggak ngapa-ngapain itu malemnya malah begadang, kalo ngapa-ngapain gue bakal tidurnya cepet. Gue cuma mau bilang, semoga hal yang kalian suka masih bisa kalian lakuin sekarang-sekarang. Jangan ngeliatin dan mikirin orang lain udah nyampe mana. Kalo mikirin orang lain rasanya mau manjat pohon depan rumah. Pusing.

Oke deh kalo gitu segini aja update-annya. Semoga cukup yak *kaya ada yang baca ajee*. Gue mau lanjut ngapain ya, di depan mata ada gelas bekas minum redoxon mau gue cuci. Baiklah gue undur diri dulu, cao cao!


6/30/2021

Minggu Cemas

Belakangan ini gue tidurnya malem terus. Malem buat gue itu kira-kira di atas jam 11 lah. Nggak tau nih kenapa nggak bisa tidur lebih awal, tapi gue seneng sih. Katanya kan kalau tidurnya malem itu karena nggak mau melewatkan hari lebih cepet. Pokoknya nggak mau buru-buru ganti hari lah gitu.
Akhir-akhir ini gue suka negative thinking gitu sama diri sendiri. Kayak kemaren-kemaren gue tuh cemas banget gitu sama kuliah gue nanti, sama gue harus dapet tempat magang sampe minggu awal juli nanti kalo bisa, terus agak cemas harus jauh. Which means gue harus ke tempat lain untuk bisa magang dimana jauh dari rumah gue. Kayaknya cemasnya itu karena banyak banget yang harus di kejar.

Oh iya, gue belom update ya? Tanggal 29 Juni kemaren gue dapet panggilan interview dari tempat magang yang gue apply untuk jurusan perhotelan.


Iya, gue kayaknya insya Allah kalo keterima disana ya bakal cari tempat kos biar nggak pulang pergi. Menurut aturan yang ada harusnya magang itu semester kemarin--yang mana mulainya februari tahun ini. Berhubung gue milih untuk ngambil cuti dulu, jadinya gue mulai cari-carinya bulan ini. Seneng sih... Seneng banget malahan. Siapa sih yang nggak seneng kalau pikirannya dialihin dulu dari semraut tingkat akhir. Gue tuh cuti bener-bener alhamdulillah wasyukurillah banget. Terlebih untuk breakdance nya gue, gue nggak nyangka aja ternyata gue belajar hal-hal yang bisa gue simpen di memori gue. Gimana ya, cuti gue bukan buat sembarang leha-leha. Yah yang jelas gue belajar buat kenalan sama diri sendiri. Apa yang mau gue lakuin. Apa yang gue suka. Apa yang mau gue kembangin. Apa yang harus diinget sama pikiran gue. Especially untuk soal belajar nih. Gue sebenernya ngikut fall program di taiwan. Tapi kuliahnya itu online sih, gue lupa mulai nya kapan tapi beberapa bulan lagi. Karena gue belum tau info selanjutnya lagi ya yaudah tunggu aja kabar jadi atau nggak dan gimananya. Kalau inget orang-orang yang ngomong gue lulusnya lama, gue jadi sebel sama kuliah lagi. Karena gue pengen sadar kalau gue ngejalanin dan milih buat kuliah bukan untuk kejar-kejaran gue udah ini tinggal ini dll. Gue ngejalanin kuliah sampe saat ini juga itu udah terseok-seok. Asal gue inget tujuan gue dan gue ngejar apa, insya Allah gue akan lewat jalan yang dikasih sama Allah. Nah sekarang gue tinggal do'a lagi semoga gue ada jodohnya sama salah satu tempat magang. Semoga Juli emang bener-bener jodoh gue.


Fiuh... Jadi keinget lagi deh sama pikiran yang harus di selesain sekarang-sekarang. Nggak tau nih kebiasaan kalau ada hal baru tuh langsung sedih sama takut bawaannya. Nggak pede duluan gue. Kenapa ya?Nggak tau lah.
Belom lagi mikirin bakal kos dimana kalau dapetnya jauh. Gue selalu pengen ruangan gue nyaman astaga maaf. Gue semester kemaren ada pengalaman yang gagal sih jadi ya begitu deh... Suka kebayang terus dan gue jadi pesimis gitu. Nggak tau ya gue orangnya nggak bisa kayak ohh kegagalan itu pengalaman yang bikin lo harus bangkit lagi setelahnya, nah "setelahnya" gue tuh ada jeda waktu yang lumayan lama. Nggak bisa gue gagal tiba-tiba udah kuat bangkit kejar lagi. Belajar dari waktu gue mau kuliah itu, jangan memaksa diri ngambil keputusan setelah baru aja gagal. Karena gue pernah begitu dan ternyata pilihan gue itu jangka pendek. Tapi mau gamau gue harus bisa sampe garis finish ya karena gue sudah start terlalu jauh. Jadiiii... Ambil jeda waktu yang emang cocok sama kamu ya. Yaudah deh kita lihat nanti gimana kelanjutannya ini magang. Nggak tau lolos apa enggak gue dengan skill berbicara gue yang seadanya itu.

Oke deh kalo gitu. Gue mesti menata ikea raskog yang baru selesai dirangkai. See you next time, readers!

6/19/2021

5/06/2021

Das Leben Geht Weiter

Kalian semua pasti pernah berada di situasi, dimana semua hal seakan-akan nggak ada yang beres. Ya intinya semua carut-marut dan membuat kita cukup stress bahkan sedikit depresi. Mungkin kalo lo baca postingan gue beberapa bulan lalu, kelihatan banget gue disitu was not okay. I was devastated and depressed sama hubungan pertemanan gue, kuliah, sama diri gue yang mentally sendiri nggak pernah cerita sama siapa-siapa lagi. Kalau gue flashback, saat-saat itu semesta alam emang maksa gue untuk grow up dan mulai berpikir secara dewasa. Sulit banget, sulit maksud gue adalah prosesnya. Gue kayak berasa lagi di boot camp. Gimana nggak, realizing that everything I believe in is completely bullshit. It sucks big time. Kalo di pikir-pikir semua hal yang kemaren bener-bener sampah dan bikin gue pusing. But you know what? I learned. Gue ngga perlu ceritain detail masalah gue, karena gue udah janji nggak akan pernah lagi ngomongin itu di blog.

Tutup buku, i'm fine now. Gue belajar dari kesalahan-kesalahan gue kemaren, mungkin dulu gue kurang bersyukur dan terlalu khawatir aja. Sekarang gue cukup senang kok menjalani keseharian gue. Bersyukur masih dikasih sehat sama Allah, seneng masih bisa adem walaupun lagi kesel, seneng kalau gue bosen masi bisa nonton video idol grup yang lucu, bersyukur tiap hari dibikin senyum sama chat bubble, masih bisa tidur-tiduran gabut di rumah, dan yang terbaru, super bersyukur gue bisa nggak terlalu ngejudge diri sendiri karena ngeliat Lucas secinta itu sama diri dia sendiri.
I'm happy, that's it. I know there are more to come.

Mungkin dulu gue terlalu kaku. Gue berpikir kalau kebahagiaan gue hanya datang dari seorang teman, but I was totally wrong. Bahagia itu bisa datang dari mana aja. Even a stranger can make you laugh. Dan sepertinya dulu gue terlalu bergantung sama quality time gue dengan keberadaan orang-orang disekitar gue yang membuat gue merasa hidup berdampingan dengan orang lain lebih penting, padahal harusnya diri gue dulu yang perlu diajak hidup berdampingan. Mata gue udah lumayan kebuka sekarang.

Be grateful for whatever God has given to you, because God knows best.

Terima kasih yaa Allah untuk semuanya. Maafin saya kalau solatnya masih bolong-bolong.

3/14/2021

Stay Hungry

Dikarenakan gue lagi jadi pengangguran (lagi), gue menghabiskan hari-hari gue dengan menonton Masterchef yang udah lama banget. Jujur gue lebih prefer sama Masterchef Australia ketimbang yang USA. Kenapa? Abisnya yang USA lebay abis. Nggak jurinya, nggak pesertanya, semuanya lebay. Pertama jurinya, siapa namanya? Gordon Ramsey? Dia lebay parah. Apalagi pas dia di Hell's Kitchen. Kerjaannya ngamuk-ngamuk mulu. Mana aksennya british kan, jadi tambah mikir gue dengernya. Pesertanya juga kayaknya niat banget untuk berkompetisi sampe nggak jarang yang satu throwing other competitors under the bus. Persaingan yang sangat tidak sehat. Mereka harus banyak makan vitamin.


Berbeda dengan orang-orang di US, si peserta Masterchef Australia lebih terlihat selow dan tenang. Mereka pun mengangap saingannya adalah keluarga. Kalau lo sering denger yang USA ngomong "I'm not here to make friends. I'm here to win.", mungkin si Aussie ngomong "I'm so happy that he's going to the next round. So we can stay here a little bit longer and make great food.". Elegan.

Padahal awalnya gue mau ngepost foto makanan yang gue temuin di internet. Tapi jadi melenceng ngomong Masterchef. Yaiyalah coy. Pendahuluan dulu. Selow...

Di satu episode si Ben, peserta dari Masterchef Aussie masak Kecap Manis Lamb. Guess what? Dia menang hahaha. Juri-jurinya kayak kegirangan gitu makaninnya. Dalem hati gue "Yaelah, ini mah ibarat makanan gue sehari-hari.Emang dasar bule biasa makan makanan hambar."
Emang bukan rahasia lagi kalau masakan indonesia itu enak-enak. Bumbunya pas. Kalau masakan india bumbunya kebanyakan, ampe rasanya kadang aneh. Sementara masakan eropa bumbunya kaga jelas. Kayaknya di masaknya cuma sama garam-merica doang. Presentasi nya doang yang bagus.
Mari kita bayangin betapa lezatnya masakan-masakan di bawah ini. Untung puasa masih beberapa minggu lagi ya.










Gimana? Laper nggak liatnya? Gue tiba-tiba ngidam soto babat bibi gue. Enaknya parah, makannya ampe keringetan pedes. Biasanya kalo lagi ngidam gini gue cuma bisa menunggu esok tiba, karena rasanya ingin makan itu akan hilang. Nasib jarang ada tukang jualan. mau makan yang cuma keluar jalan aja susah. Huh.

Anyway, yeah. Kita nggak terbiasa sama rasa yang simple, selalu bold flavour. Di buku-buku resep aja bahan-bahannya banyak bener. Daun ini lah, daun itu lah. Semuanya dimasukin dan voila! Magic.

Sekarang gue mau ngapain ya. Jadi kepingin bikin mie nih. Kemarin gue udah makan mie sebenernya. Gara-gara abis pulang kampung. Alhasil pengeeeeeen makan, tapi maleeees makan. Okebye!